Latest Posts

Buku Baru Krisis Keuangan di Indonesia

Ringkasan Isi Buku
Krisis keuangan pada pinjaman subprime mortgage di Amerika Serikat pada pertengahan 2007 menyentak kesadaran kita semua akan akibat berantainya ke seluruh penjuru dunia. Pada awal Oktober 2008, krisis tersebut meluas dan menjadi pemicu krisis keuangan yang lebih luas mencakup pasar modal dan perbankan. Walaupun, Pemerintah Amerika Serikat telah memberi dana talangan sebesar 700 milyar Dolar, ternyata dana talangan ini belum dianggap cukup oleh kalangan dunia usaha, sehingga harga-harga saham di New Stock Exchange terus berjatuhan. Pada tanggal 6 Oktober, indeks harga saham Dow Jones jatuh sehingga berada di bawah 10.000 dan memberikan efek domino ke seantero dunia. Indeks harga saham di berbagai pusat keuangan dunia mengikuti irama yang sama dengan yang terjadi di AS. Demikian juga indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) jatuh secara beruntun sejak tanggal 6 Oktober 2008 sehingga pada tanggal 8 Okteber 2008 jam 11.08, perdagangan dihentikan sementara karena sudah jatuh sejak dibuka sebesar 10,38%. Dan ditutup selama 3 hari. Hal ini untuk mencegah kekacauan dan kejatuhan yang lebih besar. Sementara kurs Rupiah juga jatuh dan sempat menyentuh Rp 10.000 per 1 Dollar AS pada kurun waktu yang sama. Fenomena ini menyadarkan kita semua bahwa sebuah krisis ekonomi atau keuangan sering dikaitkan dengan buruknya tata kelola perekonomian dan sistem ekonomi yang kurang ramah terhadap pasar. Namun, fakta ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi yang berbasis pasar (market based economy) juga tidak menjamin bahwa negara tersebut kebal terhadap kemungkinan mengalami krisis keuangan atau berbagai krisis sejenis di sektor keuangan seperti krisis di pasar modal atau atau perbankan.
Krisis keuangan yang sering terjadi di berbagai belahan dunia menyebabkan para ahli mencoba untuk mengetahui penyebabnya, pola umumnya (stylized facts) yang diharapkan dapat mengembangkan metode untuk mendeteksi krisis keuangan. Radelet dan Sachs (1998) membagi kedalam 5 tipe penyebab krisis keuangan yaitu kebijakan ekonomi yang tidak konsisten, kepanikan di pasar uang, pecahnya gelembung finansial, ketiadaan aturan baku dan moral hazard. Namun demikian, krisis keuangan dapat saja terjadi tidak hanya bersumber dari salah satu penyebab tunggal dari faktor-faktor tersebut, tetapi bisa merupakan kombinasi dari berbagai faktor-faktor tersebut yang saling bersinergi. Dilihat dari segi teori, analisis krisis keuangan dapat dibagi dalam 4 bagian yaitu teori generasi pertama krisis keuangan, generasi kedua dan generasi ketiga serta teori di luar sistem generasi.
Berbagai model empiris telah dikembangkan untuk membantu mendeteksi krisis keuangan secara lebih dini. Model yang paling konvensional adalah model parametrik atau ekonometrik dengan analisis probit atau logit. Kemudian menjelang terjadinya krisis di Asia 1997, model signal dikembangkan oleh Kaminsky, Lizondo dan Reinhart (1997). Model signal ini atau sering disebut dengan model non parametrik secara umum sangat mudah untuk diaplikasikan. Kemudian dikembangkan juga model-model yang lebih kompleks seperti model jaringan saraf tiruan, model hibrida dan berbagai model lainnya. Selain itu, terdapat pula pendekatan yang sangat sederhana untuk pemantauan mengenai risiko akan terjadinya krisis keuangan, yaitu pendekatan macroprudential dan microprudential. Pendekatan ini diadopsi oleh IMF dan ADB sejak krisis Asia 1997.
Metodologi yang dikembangkan oleh para peneliti sebelumnya akan dipakai sebagai dasar dalam mengembangkan model untuk kasus Indonesia dengan berbagai modifikasi sesuai dengan karakteristik perekonomian Indonesia. Model umum seperti model signal (Goldstein, Kaminsky dan Reinhart, 2000) dan model Logit (Berg dan Patillo, 1999b) yang banyak dikembangkan oleh berbagai peneliti kadang-kadang kurang memadai untuk diterapkan pada kasus krisis keuangan di Indonesia pada tahun 1997. 
Hasil pengembangan model krisis keuangan dengan pendekatan signal ternyata cukup memadai. Model ini dapat memprediksi krisis keuangan 1997 dan krisis mini Agustus 2005. Kinerja model signal baik untuk sampel maupun diluar sampel cukup memuaskan dengan berbagai alat evaluasi. 
Sementara model logit untuk meramalkan krisis keuangan 1997 dan Agustus 2005 juga cukup memadai, walaupun tidak sebaik model signal. Sedangkan model jaringan saraf buatan memberikan hasil yang juga sangat baik untuk kedua krisis di luar sampel. Hal ini menunjukkan bahwa krisis keuangan sebenarnya dapat diramalkan bila indikator-indikator ekonomi tertentu yang dipakai sebagai indikator dini menunjukkan perilaku yang abnormal yaitu bila kondisi indikator tersebut pada saat tertentu melampaui rata-rata plus standar deviasinya selama kurun waktu pengamatan. Artinya diramalkan disini tidaklah serta merta kita dapatkan menentukan secara tepat kapan akan terjadi krisis keuangan. Namun, dari model yang dikembangkan, dapat diketahui probabilitas akan terjadinya krisis keuangan dengan masa pra-krisis (window horizon) tertentu misalnya saja 24 bulan atau 12 bulan mendatang. Bila masa pra-krisis sudah ditentukan, maka sebuah model akan dapat meramalkan akan terjadi krisis di dalam 24 atau 12 bulan mendatang bila probabilitas sudah mencapai batas ambang tertentu.
Adapun indikator-indikator dini yang cukup baik kinerjanya di dalam memberikan signal adalah kurs riil, harga minyak mentah dunia, rasio hutang luar negeri dengan cadangan devisa, tingkat bunga riil, rasio M2 dengan cadangan devisa, efek penularan, rasio defisit fiskal dengan PDB. Indikator-indikator ini patut diamati dengan seksama perubahannya terhadap pola normalnya. Selain itu, indikator-indikator ini juga saling berkaitan erat dan saling mempengaruhi. Misalnya saja indikator harga minyak mentah dunia yang tinggi akan berpengaruh pada defisit fiskal, karena berkaitan dengan besarnya subsidi BBM.
Manfaat dari model sistem peringatan dini krisis keuangan ini dapat digunakan tidak hanya untuk meramalkan atau memprediksi probabilitas krisis keuangan, tetapi juga dapat digunakan untuk mendiagnosa kesehatan perekonomian di masa tenang. Mungkin saja di masa tenang, terjadi beberapa inidkator dini menunjukkan abnormalitas sehingga memberikan signal, tetapi secara keseluruhan di dalam membentuk indeks komposit belum cukup kuat untuk memberikan tingkat probabilitas yang tinggi untuk terjadinya risiko krisis sehingga pembuat kebijakan dapat memperbaiki kinerja ekonomi pada sektor-sektor tertentu yang memberikan signal yang kurang baik dengan kebijakan pre-emptive yang tepat. Dengan demikian, kinerja ekonomi akan dapat diperbaiki sehingga memburuknya ekonomi yang terus menerus yang berakibat pada krisis keuangan dapat dihindarkan bila bersumber dari faktor domestik atau diansipasi bila bersumber dari faktor eksternal. Oleh karena itu, krisis keuangan sebenarnya dapat dihindarkan atau diantisipasi dengan kebijakan ekonomi yang tepat. 
Indonesia yang telah mengalami krisis paling parah diantara semua negara di Asia pada tahun 1997. Sampai saat ini, sepengetahuan penulis Pemerintah belum memiliki sistem deteksi dini yang memadai kecuali di Bank Indonesia. Selain itu, institusi yang menjadi penjaga gawang untuk pencegahan krisis juga belum tertata dengan baik. Apalagi bila krisis terjadi lagi dalam waktu dekat, nampaknya belum ada sistem dan mekanisme penanganan resolusi krisis sehingga tidak menimbulkan implikasi hukum seperti berbagai kasus BLBI yang menyeret pejabat-pejabat Bank Indonesia ke dalam kasus-kasus pelanggaran hukum. 
Pada saat krisis dan menjelang krisis, maka pengambilan keputusan harus dilakukan dengan cepat dan terukur supaya krisis tidak berlanjut dan lebih dalam sehingga membutuhkan waktu lama untuk pemulihannya. Namun, bila tidak ada prosedur dan mekanisme yang jelas di dalam menangani pada masa menjelang dan waktu krisis, maka para pembuat keputusan tidak ada yang berani mengambil keputusan yang cepat dan terukur karena ada kekhawatiran akan tersangkut dengan masalah hukum seperti yang terjadi di masa lalu. Oleh karena itu, idealnya ada sebuah lembaga khusus yang menangani dan bukan hanya sebuah forum saja yang telah ada selama ini yaitu orum Stabilitas Sektor Keuangan (FSSK).

read more...

Naiknya Nilai Penjaminan Dapat Picu Krisis Keuangan



Di tengah krisis global dan potensi krisis yang akan dialami oleh Indonesia, Pemerintah membuat langkah-langkah kebijakan pre-emptive yang kurang tepat guna mencegah krisis menular pada perekonomian Indonesia. Salah satu langkah kebijakan adalah meningkatkan nilai penjaminan dari Rp 100 juta menjadi Rp. 2 Milyar. Langkah kebijakan ini sebenarnya berpotensi meningkatkan moral hazard. Peningkatan nilai penjaminan 20 kali lipat, padahal coverage nasabah dari 95% hanya naik menjadi 97% melalui PP 66/2008. Ini artinya bahwa kebijakan agak bias kepada nasabah besar. Apalagi ada permintaan dari kalangan perbankan untuk meminta semua nasabah dicover. Hal ini akan meningkatkan moral hazard bagi pengelola perbankan.
Moral hazard Pemicu Krisis
Moral hazard menjadi salah satu penyebab pemicu krisis. Moral hazard terjadi karena adanya jaminan pemerintah dan lemahnya penegakan aturan. Hal ini menjadi salah satu penyebab investasi yang berlebihan dan berisiko oleh perbankan dan lembaga keuangan yang dapat meminjam kredit sehingga mereka berhutang lebih besar dari modal mereka sendiri (Akerlof dan Romer 1993). Pemberian kredit yang berisiko tinggi karena mereka tahu bahwa pemerintah dan lembaga keuangan internasional akan memberikan talangan bila mereka menghadapi masalah. Krugman menerapkan analisis ini untuk melihat krisis keuangan di Asia pada tahun 1997. Jadi belajarlah dari pengalaman krisis 1997 dan kasus BLBI.
Adanya penetapan premi jaminan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) untuk semua bank yang bertarif sama juga memicu moral hazard. Karena tanpa adanya differensiasi premi untuk setiap bank mendorong bank-bank berperilaku buruk, karena tidak ada insentif untuk memperbaiki diri. Di lain pihak bagi bank-bank yang mempunyai good corporate governance yang baik kurang terdorong untuk terus memperbaiki kinerjanya. Seharusnya, LPS menerapkan differensiasi pembayaran premi berdasarkan rating dari bank-bank yang menjaminkan dana nasabahnya. Bagi bank yang memiliki rating baik membayarkan premi nasabahnya kepada LPS dengan premi yang lebih rendah, karena LPS mengetahui bahwa pengelolaan bank-bank tersebut dilakukan dengan baik dan hati-hati sehingga risiko dari dalam berupa pengelolaan menurun. Sementara bagi bank-bank yang di dalam pengeloaannya kurang baik dan kurang hati-hati harus membayar premi yang lebih tinggi. Hal ini dimaksudkan untuk rasa keadilan dan mendorong perbankan melakukan good corporate governance dan prudential banking. Yang diperlukan oleh LPS adalah melakukan rating perbankan di dalam melakukan pengelolaannya. Hal ini dapat dilakukan bekerja sama dengan Bank Indonesia.
Potensi Krisis Perbankan
Sebenarnya potensi krisis perbankan relatif kecil, teruatama jika Pemerintah tidak kelihatan panik, namun juga tidak menganggap remeh karena adanya potensi contagion effect dari krisis finansial global. Rasio hutang luar negeri terhadap modal perbankan relative tidak terlalu besar. Sedangkan rasio hutang luar negeri dengan Foreign Asset memiliki trend yang hampir sama dengan rasio modal perbankan (Gambar 1). Apalagi tingkat kredit macet (NPL) juga menurun (Lihat Gambar 2). Jadi sebenarnya tidak ada yang terlalu perlu dikhawatirkan. Masalahnya adalah bagaimana Pemerintah memberikan rasa percaya kepada masyarakat bahwa uang mereka dijamin oleh LPS di sektor perbankan. Program penjaminan oleh LPS ini adalah bila bank mengalami kebangkrutan sehingga gagal membayar uang nasabah. Sedangkan masalah adanya potensi rush tentu bukan bagian dari program penjaminan. Keadaan ini harus melalui mekanisme yang lain.
Nampaknya Pemerintah panik dan pembuatan kebijakan disandera oleh para nasabah besar. Sebenarnya yang harus dilakukan Pemerintah dan otoritas moneter dalam hal ini Bank Indonesia adalah menenangkan pasar misalnya dengan menunjukkan data makro dan mikro perbankan secara transparan serta pembuatan peraturan dan penegakan aturannya secara konsisten sehingga dapat menjaga kepercayaan pasar. Modal utama di sektor keuangan adalah kepercayaan. Bila sektor finansial tidak percaya bahwa Pemerintah dapat menangani dampak krisis global, maka masyarakat akan panik, padahal kepanikan adalah salah satu sumber penyebab terjadinya krisis sebagaimana dinyatakan oleh Radelet dan Sach (1998).
Jadi, Pemerintah sendiri yang menciptakan sumber pemicu krisis keuangan. Jangan salahkan pasar dan masyarakat bila mereka menilai bahwa Pemerintah tidak belajar dari pengalaman krisis 1997-1998 sehingga mereka panik. Jika pada tahun 1997-1998, Pemerintah terlalu percaya diri dan menganggap remeh. Sedangkan, Pemerintah saat ini agak nampak panik dengan membuat kebijakan yang justru dapat menyebarkan kepanikan kepada masyarakat dan dunia usaha. Karena kebijakan yang dibuat justru cermin kepanikan dan dapat menjadi pemicu krisis keuangan. Pada hari Jumat lalu kurs Rupiah terhadap dollar AS sudah mencapai Rp. 10.000. Dan bila kepanikan terus menyebar sementara Pemerintah tidak mennyadari bahwa sumber pemicu krisis berasal dari kesalahan kebijakan yang mereka buat sendiri. Maka tinggal menunggu waktu saja jika Rupiah akan terus merosot terhadap dollar AS. Semoga hal ini tidak terjadi.
read more...