Naiknya Nilai Penjaminan Dapat Picu Krisis Keuangan



Di tengah krisis global dan potensi krisis yang akan dialami oleh Indonesia, Pemerintah membuat langkah-langkah kebijakan pre-emptive yang kurang tepat guna mencegah krisis menular pada perekonomian Indonesia. Salah satu langkah kebijakan adalah meningkatkan nilai penjaminan dari Rp 100 juta menjadi Rp. 2 Milyar. Langkah kebijakan ini sebenarnya berpotensi meningkatkan moral hazard. Peningkatan nilai penjaminan 20 kali lipat, padahal coverage nasabah dari 95% hanya naik menjadi 97% melalui PP 66/2008. Ini artinya bahwa kebijakan agak bias kepada nasabah besar. Apalagi ada permintaan dari kalangan perbankan untuk meminta semua nasabah dicover. Hal ini akan meningkatkan moral hazard bagi pengelola perbankan.
Moral hazard Pemicu Krisis
Moral hazard menjadi salah satu penyebab pemicu krisis. Moral hazard terjadi karena adanya jaminan pemerintah dan lemahnya penegakan aturan. Hal ini menjadi salah satu penyebab investasi yang berlebihan dan berisiko oleh perbankan dan lembaga keuangan yang dapat meminjam kredit sehingga mereka berhutang lebih besar dari modal mereka sendiri (Akerlof dan Romer 1993). Pemberian kredit yang berisiko tinggi karena mereka tahu bahwa pemerintah dan lembaga keuangan internasional akan memberikan talangan bila mereka menghadapi masalah. Krugman menerapkan analisis ini untuk melihat krisis keuangan di Asia pada tahun 1997. Jadi belajarlah dari pengalaman krisis 1997 dan kasus BLBI.
Adanya penetapan premi jaminan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) untuk semua bank yang bertarif sama juga memicu moral hazard. Karena tanpa adanya differensiasi premi untuk setiap bank mendorong bank-bank berperilaku buruk, karena tidak ada insentif untuk memperbaiki diri. Di lain pihak bagi bank-bank yang mempunyai good corporate governance yang baik kurang terdorong untuk terus memperbaiki kinerjanya. Seharusnya, LPS menerapkan differensiasi pembayaran premi berdasarkan rating dari bank-bank yang menjaminkan dana nasabahnya. Bagi bank yang memiliki rating baik membayarkan premi nasabahnya kepada LPS dengan premi yang lebih rendah, karena LPS mengetahui bahwa pengelolaan bank-bank tersebut dilakukan dengan baik dan hati-hati sehingga risiko dari dalam berupa pengelolaan menurun. Sementara bagi bank-bank yang di dalam pengeloaannya kurang baik dan kurang hati-hati harus membayar premi yang lebih tinggi. Hal ini dimaksudkan untuk rasa keadilan dan mendorong perbankan melakukan good corporate governance dan prudential banking. Yang diperlukan oleh LPS adalah melakukan rating perbankan di dalam melakukan pengelolaannya. Hal ini dapat dilakukan bekerja sama dengan Bank Indonesia.
Potensi Krisis Perbankan
Sebenarnya potensi krisis perbankan relatif kecil, teruatama jika Pemerintah tidak kelihatan panik, namun juga tidak menganggap remeh karena adanya potensi contagion effect dari krisis finansial global. Rasio hutang luar negeri terhadap modal perbankan relative tidak terlalu besar. Sedangkan rasio hutang luar negeri dengan Foreign Asset memiliki trend yang hampir sama dengan rasio modal perbankan (Gambar 1). Apalagi tingkat kredit macet (NPL) juga menurun (Lihat Gambar 2). Jadi sebenarnya tidak ada yang terlalu perlu dikhawatirkan. Masalahnya adalah bagaimana Pemerintah memberikan rasa percaya kepada masyarakat bahwa uang mereka dijamin oleh LPS di sektor perbankan. Program penjaminan oleh LPS ini adalah bila bank mengalami kebangkrutan sehingga gagal membayar uang nasabah. Sedangkan masalah adanya potensi rush tentu bukan bagian dari program penjaminan. Keadaan ini harus melalui mekanisme yang lain.
Nampaknya Pemerintah panik dan pembuatan kebijakan disandera oleh para nasabah besar. Sebenarnya yang harus dilakukan Pemerintah dan otoritas moneter dalam hal ini Bank Indonesia adalah menenangkan pasar misalnya dengan menunjukkan data makro dan mikro perbankan secara transparan serta pembuatan peraturan dan penegakan aturannya secara konsisten sehingga dapat menjaga kepercayaan pasar. Modal utama di sektor keuangan adalah kepercayaan. Bila sektor finansial tidak percaya bahwa Pemerintah dapat menangani dampak krisis global, maka masyarakat akan panik, padahal kepanikan adalah salah satu sumber penyebab terjadinya krisis sebagaimana dinyatakan oleh Radelet dan Sach (1998).
Jadi, Pemerintah sendiri yang menciptakan sumber pemicu krisis keuangan. Jangan salahkan pasar dan masyarakat bila mereka menilai bahwa Pemerintah tidak belajar dari pengalaman krisis 1997-1998 sehingga mereka panik. Jika pada tahun 1997-1998, Pemerintah terlalu percaya diri dan menganggap remeh. Sedangkan, Pemerintah saat ini agak nampak panik dengan membuat kebijakan yang justru dapat menyebarkan kepanikan kepada masyarakat dan dunia usaha. Karena kebijakan yang dibuat justru cermin kepanikan dan dapat menjadi pemicu krisis keuangan. Pada hari Jumat lalu kurs Rupiah terhadap dollar AS sudah mencapai Rp. 10.000. Dan bila kepanikan terus menyebar sementara Pemerintah tidak mennyadari bahwa sumber pemicu krisis berasal dari kesalahan kebijakan yang mereka buat sendiri. Maka tinggal menunggu waktu saja jika Rupiah akan terus merosot terhadap dollar AS. Semoga hal ini tidak terjadi.
Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl